PENGANTAR
Setiap anak terlahir dalam keadaan suci (fitrah) orang tuanya-lah yang menentukan akan seperti apa anak tersebut kelak. Pun setiap anak hidup dalam dunianya, kita (orang tua) mestinya bisa menyelami dunia anak yang penuh dengan dinamika dan fantasi. Masa depan yang didalamnya anak – anak kita hidup, akan memiliki berbagai macam ciri persaingan yang ketat, pergaulan global disertai perubahan – perubahan cepat diberbagai bidang kehidupan dengan segala permasalahannya tentunya harus diikuti dengan kesiapan pemahaman keagamaan yang memadai dan benar.
Juga sebuah kondisi yang berbeda, ketika kita melihat pendidikan nasional yang kurang mengarahkan siswa untuk lebih berfikir kreatif yang bersifat solutif, cenderung kepada pemberiaan materi yang sifatnya hafalan semata dengan komunikasi pengajaran satu arah yang membosankan. Padahal potensi anak – anak kita luar biasa besarnya.
Inilah akibat dari kesalahfahaman sebagian orang terhadap makna pendidikan seharusnya guru berperan sebagai pendidik bukan pengajar. Sehingga guru menurut seorang inovator pendidikan dari Brazil Paulo Freire“pengajaran lebih dekat kepada metode banking, yang didalamnya guru mendepositokan kecakapan yang perlu diketahui oleh seorang pelajar”, dengan kata lain guru adalah manusia super yang harus ‘digugu’ dan ‘ditiru’. Target materi tercapai berarti berakhir pula semua kewajiban guru, perkara murid mengerti atau tidak itu urusan belakang.
Siswa dianggap objek yang pasif, padahal arti pendidikan secara lebih luas adalah bagaimana seorang pendidik mengetahui cara belajar anak (learning how to learn) cara berfikir anak (learning how to think) cara anak berkreasi (how to be crative), cara anak bersoasialisai, cara anak memunculkan sikap emosionalnya, empatinya sehingga tiga potensi dasar pendidikan (kogitif-akademik, afektif-spiritual, psikomotorik-jasmani) anak ter-eksplorasi dengan proporsional.